Bertempat di Hotel Cakra Kembang, Jogjakarta, tiga komunitas dari CreativeNet yaitu Komunitas Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) di Ledok Tukangan, Komunitas Cemara Ledok Code, dan Komunitas Gerilya Pemuda Prawirotaman 08 mempresentasikan ide-ide kreatifnya. Ide-ide kreatif mereka berangkat dari fokus persoalan yang dialami oleh komunitas. Saat membuka forum presentasi ini, fasilitator CCES untuk Jogjakarta memaparkan acuan pembobotan dari setiap ide yang dipresentasikan oleh setiap komunitas. Adapun acuan itu adalah relevansi karya dengan masalah yang hendak dipecahkan, kebaruan dari sisi ide, strategi, dan teknis, partisipasi masyarakat internal maupun eksternal, keberlanjutan, kemudian irisan dengan isu wilayah. Pembobotan ini menjadi sangat penting bagi komunitas untuk mengetahui aspek apa saja yang perlu ada dalam setiap idenya.
Presentasi pertama dilakukan oleh GPP 08. Agung sebagai penggeraknya memaparkan ide menariknya yang berangkat dari persoalan semakin sempitnya ruang hidup di kawasan Prawirotaman. Ruang bermain anak, ruang ekspresi bagi kaum muda, bisa dikatakan hampir tidak ada. Telah tergantikan oleh hotel-hotel yang membuat sesak jalanan kecil dengan mobil dan bis-bis besar. Merespon hal ini, GPP 08 telah dua kali menggelar sebuah acara bertajuk “Car Free Night.” Warga menutup jalan, dan membiarkan jalanan sebagai ruang ekspresi publik. Namun untuk prototype CreativeNet, GPP 08 justru ingin mengajak anak kecil, usia 5-10 tahun untuk berekspresi perasaan dan pemikirannya mengenai ruang hidup mereka. Judul karya “Kumpulan Catatan Visual Anak Prawirotaman,” GPP 08 hendak mengajak anak untuk memaknai dan berimajinasi mengenai ruang bermain dan berkehidupan mereka di ruang yang makin sempit.
Setelah presentasi dari GPP 08, lalu dilanjutkan oleh Komunitas SAKI dari Ledok Tukangan. Anang, sebagai penggerak SAKI memaparkan ide kreatifnya yang berangkat dari persoalan pendidikan di kawasan Ledok Tukangan, pinggir Kali Code. Meski berada di jantung perkotaan, tingkat pendidikan kaum muda di Ledok Tukangan tidaklah tinggi. Artinya masih banyak warga yang mengalami putus sekolah. Menurut Anang, pendidikan rata-rata hanya sampai SLTA, sementara yang mengalami bangku kuliah bisa dihitung dengan jari. Dengan tingginya angka putus sekolah, maka kaum muda banyak yang bekerja menjadi buruh, atau pengangguran. Di sisi inilah, SAKI telah menjadi oase kreativitas bagi kaum muda yang tidak tahu harus melakukan apa yang bermanfaat. Selama ini SAKI sudah mengembangkan ekonomi kreatif berupa sablon, memfasilitasi anak muda untuk memiliki band dan rekaman, mengembangkan usia anak-anak untuk berkreasi dan pentas di luar kampung. Ide kreatif SAKI dalam konteks creativeNet tetap relevan dengan kegiatan sebelumnya, tetapi sarat dengan terobosan baru, yaitu membuat Gerobak Perpustakaan Keliling. Mungkin perpustakaan keliling sudah banyak dilakukan, tetapi yang menarik isi dari perpustakaan itu adalah karya tulisan, foto, audio, dan audio visual, serta merchandize dari anak-anak kampung Ledok Tukangan. Diharapkan hasil karya yang dikelilingkan dengan gerobak ini bisa menginspirasi anak muda kampung lainnya. Perpustakaan keliling memang menjadi salah satu daya tarik untuk mengatasi minimnya tingkat pendidikan, tetapi di sini yang ditekankan adalah bagaimana anak muda memproduksi pengetahuannya berbasis kampung, bukan langsung membaca pikiran orang lain. Membaca itu penting, tetapi memproduksi karya sendiri jauh lebih penting karena melatih berpikir kritis, serta memunculkan kebanggaan yang akan membekas di masa pertumbuhan selanjutnya. Dalam karyanya, SAKI akan membuat tiga gerobak perpustakaan, masing-masing dengan konten berisi arsip kampung, audio, foto, dan video ampung, serta karya berupa buku sastra, gambar, serta satu gerobak untuk menjual produk kerajinan kampung. Selain gerobak perpustakaan, SAKI hendak membuat Sign Art di ruang strategis kampung. Sign art akan berisi teks-teks yang mengekspresikan pikiran dan kebutuhan anak muda. Kelak sign art ini bisa menjadi postcard, stiker, dan lain-lain. Seluruh karya ini akan dipresentasikan dalam sebuah launching karya berupa festival kampung.
Terobosan yang juga menarik berasal dari Komunitas-Cemara di Ledok Code. Dengan konsep “Kampung Lighting,” Komunitas Cemara Ledok Code hendak menawar stigma “kampung kumuh” bagi wilayahnya. Terletak di antara kemewahan hotel dan bangunan di pusat kota, Ledok Code terpuruk di pinggir kali sebagai kampung tak terurus. Bahkan kini tak ada bantuan dari pemerintah akibat status tanah yang tidak jelas. Komunitas Ledok Code tidak tinggal diam, justru mereka ingin menegaskan keberadaannya dengan membuat lampu-lampu yang terbuat dari bahan bekas. Pemilihan bahan bekas sangat beralasan karena sebagian warga dari kampung adalah pemulung. Lampu-lampu itu diharapkan akan menerangi kampung sehingga dari atas sungai, kampung ini akan terlihat cantik. Selain itu mengingat sempitnya ruang bermain anak, Komunitas Ledok Code hendak membuat taman anak kecil dengan ditumbuhi tanam-tanaman menarik. Seluruh presentasi penataan kampung ini akan digelar dalam bentuk acara kesenian yang mengundang kampung-kampung lain. Seluruh ide yang sangat menarik dari ketiga komunitas ini akan didiskusikan oleh tim CCES berdasarkan indikator yang telah ditentukan. *** (Ade Aryana Uli)