“Sebuah perjalanan kreatif selalu bermula dari sebuah pertanyaaan,” Arahmaiani
Ide kreatif tidak lahir dari ruang kosong, tetapi tidak lepas dari konteks sosial budaya dan politik individu atau komunitas. Di sinilah realitas, kultur, dan imajinasi menjadi satu kesatuan yang melahirkan sebuah karya. Namun ketika kreativitas diletakkan sebagai sebuah kerja kolektif komunitas untuk merespon persoalan yang terjadi wilayahnya, maka praktik kreatif memiliki tujuan yang lebih gamblang, yaitu mendorong terjadinya advokasi untuk sebuah perubahan. Akhir-akhir ini, pendekatan kreatif banyak dicoba sebagai metode untuk menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi, bersikap, dan bertindak dalam memecahkan persoalan bersama yang dihadapinya.
Selama ini beragam cara telah dilakukan seperti demonstrasi, audiensi, kesenian, pengelolaan teknologi media untuk warga, dan lain-lain. Kini pendekatan kreatif diasumsikan mampu memperkuat partisipasi warga, mengangkat isu wilayah dengan cara yang lebih halus dan sublim, menggerakkan perjuangan masyarakat melalui cara yang lebih damai. Dalam diskusi “Advokasi Kreatif” yang digelar oleh Center for Civic Engagement & Studies, hendak dibahas asumsi-asumsi tersebut dengan menghadirkan seorang akademisi dari bidang antropologi yaitu Lono Simatupang, dan praktisi seni rupa yaitu Arahmaiani.
Lono Simatupang membuka diskusi ini dengan mempertajam istilah-istilah yang digunakan. Menurut beliau, advokasi kreatif dan partisipasi adalah hal yang berbeda. Dalam budaya masyarakat nusantara telah dikenal gotong-royong, kerja bakti, dan segala kegiatan yang mendorong partisipasi warga. Tetapi hal ini berbeda dengan partisipasi dalam konteks kreativitas, dimana komunitas telah membayangkan kondisi mereka yang ditransformasikan ke dalam bentuk kerja seni yang sifatnya kreatif. Kembali Lono Simatupang hal yang mendasar, yaitu mengapa ruang advokasi yang sudah ada selama ini tidak cukup mengusung partisipasi, sehingga harus merancang metode baru yaitu kreativitas. Asumsi yang mungkin muncul adalah seni lebih memberika peluang untuk ekspresi keinginan warga.
Lalu seni, seolah-olah adalah milik publik sehingga setiap orang berhak dan bisa berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Yang ketiga, seni bersifat menyenangkan. Perbedaannya terletak pada bentuk seni yang menghasilkan karya atau produk yang menarik, berbeda dengan gotong royong, rapat RT RW, dan lain-lain. Pertanyaan lanjutannya, apakah memang kesenian menjadi pilihan untuk menyelamatkan partisipasi warga secara penuh ? Oleh karena dalam produksinya dibutuhkan keahlian tertentu, dan tidak semua menguasai seni tersebut. Jika hanya sebatas “kesenangan” memang bisa mendorong adanya kesukarelaan dalam bentuk partisipasi. “Kesenangan” mensyaratkan adanya produk seni yang mampu mempesona seseorang dan kemudian mentransformasi pesannya ke dalam kesadaran penikmatnya. Produk seni harusnya membawa kita meningkatkan pengalaman dari yang mempesonakan. Atau membawa penikmat seni menjadi tersadar akan pengalaman si pembuat seni.
Lalu kepentingan dari produk seni juga bisa bercabang, apakah memang untuk penyadaran atau ekonomi ? Kemana produk yang dihasilkan akan diarahkan ? Hal ini menentukan konten dari proses yang terjadi dalam pembuatan produk seni. Dalam kasus pameran, apakah produk komunitas yang dilahirkan dalam proses partisipasi akan menghilangkan proses tersebut.
Arahmaiani, sebagai seniman menegaskan bahwa kerja kreatif selalu dihadapkan pada proses dan produk. Namun baginya secara pribadi, proses akan lebih penting daripada produk. Oleh karena orientasi hanya pada produk akan menghambat perjalanan kreatif itu sendiri yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan. “Dalam hal ini kehidupan adalah proses interaksi dengan sekeliling saya. “ ungkap Arahmaini.
Ia juga menegaskan bahwa daya kreatif tidak hanya milik seniman, tetapi milik semua orang. Pengkotakan yang terjadi memberikan ruang bagi seniman untuk lebih luas berkarya dan mengolah ide-ide kreatif. Namun baginya daya kreatif itu sangat dibutuhan oleh setiap orang, sehingga ia selalu ingin bekerja bersama dengan komunitas untuk mengolah kreativitas, dalam ide, pikiran, maupun bentuk. Arahmaini sendiri telah bekerja dengan SAKI, Pondok Pesantren Anumerta, dan beberapa komunitas di luar negeri seperti di Tibet.
Menanggapi uraian awal dari Pak Lono Simatupang dan Arahmaiani, Mita dari Riset Indie mengatakan bahwa kreatif adalah mengembangkan ide orisinil dan penciptaan. Dalam konteks komunitas, yang terpenting adalah bagaimana memikirkan sesuatu yang sederhana dan tak terpikir menjadi suatu hal yang berdaya. Jadi ada sisi solusi terhadap suatu persoalan yang dihadapi bersama oleh komunitas. Proses yang terjadi di CreativeNET Bandung adalah mendorong komunitas memetakan masalah, menentukan prioritas, memverifikasinya. Setelah itu baru memikirkan dan mengeksekusi solusi dengan cara yang kreatif.
Metode yang diterapkan Riset Indie melalui beberapa tahapan yang cukup bisa terukur. Sementara dalam praktek di lapangan atau komunitas, Anang dari SAKI menjelaskan bahwa dalam interaksi sosial di kampung, seni dan olah raga merupakan media yang mengikat hubungan antarwarga. Oleh karena itu, mencari solusi melalui medium kreatif sangat mudah untuk diterima oleh warga, terutama anak muda. Di sini menurut Lono Simatupang, kreativitas telah menjadi way of life. Kreatif itu sebagai suatu cara untuk menghadapi berbagai macam situasi. Tetapi yang perlu untuk disadari adalah sikap kreatif selalu berhadapan dengan kondisi tertentu, sehingga ada pilihan dan keterbatasan. Di situpun kreativitas menemukan tantangannya, bukan justru menjadi sebuah hambatan. Menurut Lono Simatupang, ada dua hal: pertama, setiap media punya batasan dan kelebihannya masing-masing. Fungsi media itu menjembatani, sebagai jembatan dia punya kemampuan dan keterbatasan sendiri. Kedua, Media juga disikapi dengan cara tertentu dan tidak bisa dibiarkan apa adanya.
Menanggapi Lono Simatupang, Ferry Sirait mengungkapkan bahwa ketika kreatifitas berada pada way of life problemnya adalah ketika diturunkan menjadi sebuah metode. Tapi ada yang lebih rumit, ketika kreatifitas dijadikan tujuan. Terutama dibawa ke ruang seni, kreatifitas menjadi salah satu tujuan. Oleh karena itu apakah kreatifitas harus menjadi spirit, metode, atau tujuan? Apakah ketika kita mengharapkan proses lintas disiplin ini apa prasyarat yang harus dilakukan? Apakah ini berangkat dari pengolahan metode dan tujuan?
Pertanyaan ini sangat menarik, karena berhubungan dengan metodologi, dimanakah kreativitas harus diletakkan dalam kerangka advokasi. Kreativitas merupakan spirit yang kemudian menjadi cara pandang manusia dalam melihat dunianya dan pijakan bagi tindakannya untuk menyelesaikan segala persoalannya. Hal yang menarik dari kreativitas adalah unsur inovasi. Sebuah bentuk hasil kreativitas pada jangka waktu tertentu akan tidak lagi bisa relevan untuk menjawab persoalan di masa yang lain. Oleh karena itu dengan adanya spirit kreatif, maka selalu ada upaya untuk menemukan inovasi baru. Pada konteks inilah, nilai dan bentuk mapan akan tergoncang, sehingga praktek kreatif dalam realitasnya seringkali menemukan hambatan sosialnya. Dalam program CreativeNET di Klaten misalnya, melakukan pendobrakan dari pakem seni tradisi pertunjukan ketoprak tidak mudah.
Tetapi jika tidak dilakukan perubahan, maka akan terjadi keterputusan tradisi kethoprak di kalangan anak muda. Ini merupakan pilihan dari sebuah strategi kreatif, yang terkadang harus menghadapi persoalan di luar kreativitas seperti pertarungan gagasan dengan kaum generasi tua yang lebih memiliki kekuasaan. Di level komunitas, melakukan ide kreatif tidak seperti seniman yang lebih bebas untuk bergulat dengan idenya sendiri. Sementara di tingkat komunitas, ada hambatan nilai, kekuasaan, spirit perubahan, dan lain-lain. Oleh karena itu ide kreatif harus ditransformasi lagi dengan sebuah strategi kreatif. Dalam strategi itulah akan diperhitungkan pemetaan masalah, pemetaan kelompok masyarakat, target yang hendak dicapai, kelompok mana yang akan diprioritaskan untuk dicapai, dalam penyampaian pesan. Juga dalam hal produksi, memilih bahan yang ada di lingkungan sekitar sangat penting untuk keberlanjutan dan pengembangan ide kreatif selanjutnya. Oleh karena itu dalam penerapan kreativitas di tingkat komunitas untuk tujuan advokasi, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan yaitu:
Pemetaan masalah
Mungkin dalam konteks inilah advokasi kreatif berbeda dengan mengerjakan produk kesenian yang lazim dilakukan oleh seniman.
Oleh: Ade Tanesia