Empat anak laki-laki menari kuda lumping. Anak-anak perempuan asik memainkan permainan tradisional di panggung masyarakat Kampung Ledok Tukangan, Kota Yogyakarta. Di sekitar panggung, ada mural menggambarkan kondisi hutan makin banyak ditebang dan ikan-ikan terus ditangkapi.
Inilah gawe Komunitas Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) Ledok Tukangan bekerja sama dengan Center for Civic Engagement and Studies menjadi penggagas Festival “Kampungku Uripku 2” Sabtu, akhir pekan lalu..
Anang, pimpinan SAKI mengatakan, ruang hidup warga Urban Yogyakarta, makin terdesak pembangunan mal dan hotel. Ia berdampak menyingkirkan masyarakat kampung dan krisis air sumur.
Komunitas SAKI, katanya, merespon persoalan dengan cara kreatif. Pemuda dari GPPOB Prawirotaman II membuat foto tentang ruang-ruang kampun, Komunias Cemara di Ledok Code membuat lampion dan SAKI membuat gerobak perpustakaan keliling dan gerobak outlet produk karya anak kampung.
“Gerobak perpustakaan keliling menjadi lumbung pengetahuan saat terjadi banjir, kelak dapat diselamatkan karena mobile,” katanya.
Gerobak ini akan keliling kampung, terutama tempat-tempat berkumpul warga, baik ibu-ibu, anak-anak, pemuda dan lain-lain. SAKI juga membuat lima signage berupa gurpon (rumah burung merpati) bertuliskan pesan-pesan seputar pemeliharaan lingkungan dan kritik keterdesakan ruang hidup Yogyakarta dengan mal dan hotel.
“Kegiatan ini diharapkan memberikan pemahaman bersama menjaga lingkungan agar tetap bersih. Juga , menjaga kampung dari pembangunan mal dan hotel.”
Alam dan lahan pertanian
Sebelum itu, ruh senada, ada Festival Nglemah Nglumbung di Klaten. Tema ini, dalam dalam bahasa Jawa, dari kata lemah (tanah) dan lumbung. Dalam kata kerja, keduanya merupakan tindakan.
Rudi Yesus, pimpinan Padepokan Kyai Suluh bersama masyarakat desa bikin acara kreatif ini untuk mengangkat dan memadukan pengembangan ekonomi dengan kecintaan lingkungan dan kebudayaan melalui praktik seni tradisi.
“Nglemah berarti menghargai tanah sebagai media kehidupan. Nglumbung, entitas bagaimana manusia mengolah tanah. Lumbung tidak hanya menyimpan hasil, tetapi menghubungkan antara tanah, manusia, dan kebudayaan,” kata Rudi.
Konsep festival lahir dari fakta yang kini terjadi di Dlimas, dan wilayah lain Klaten. Banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi industri, dan degradasi seni tradisi di kalangan anak muda.
“Untuk mempertahankan kekayaan seni tradisi serta lingkungan, transformasi pada generasi muda menjadi hal sangat krusial.”
Menurut Rudi, wajah Klaten tengah berubah, dari lumbung pangan untuk Jawa Tengah dan sekitar, menjadi mengancam ketahanan pangan. Luas Klaten 65.556 hektar. Sebesar 39.758 hektar lahan pertanian dan 33.374 hektar (83,94%) sawah. Dari luas itu, 33.277 hektar (99,71%) tani padi.
Namun, data BPS Klaten 2012 , lima tahun terakhir terjadi alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi non pertanian. Bahkan pada 2005-2009 di Klaten, lahan pertanian berkurang 245,3607 hektar, 61,38% untuk perumahan, selebihnya industri, perusahaan dan jasa.
Produksi padipun menurun, seperti data 2010, tercatat 302.893 ton menjadi 206.815 ton untuk padi sawah pada 2011.
“Generasi muda memilih keluar dari desa mencari pekerjaan. Lewat festival ini coba memadukan pengembangan ekonomi kreatif dengan kecintaan lingkungan dan kebudayaan.”
Dalam kegiatan ini, ada pameran foto warga menggunakan kamera ponsel. Ada berbagai keramik dari tanah liat dan kreasi dompet daur ulang plastik. Hasil-hasil pertanian organik dan berbagai tanaman menggunakan aquaponik dipajang sekitar halaman sekolah.
Sumber: Mongabay.co.id