8 Komunitas Menyingkap Polemik Kesehariannya
Keseharian dari kehidupan terkadang hanya berlalu sebagai rutinitas waktu yang harus dilintasi. Tapi bagi komunitas yang selama ini berkolaborasi bersama, keseharian disingkap mendalam, tidak sekedar dilalui, menjadikannya lebih transparan. Mereka mencoba belajar dan bereksperimen melalui kreatifitas untuk tujuan tertentu, agar orang lain juga bisa terlibat merefleksikannya. Ada 8 Komunitas berasal dari Jogja, Klaten dengan pengalaman kreatif memperlihatkan ulang hasil dan peristiwa berkarya mereka dengan tajuk ‘Lumbung Hidup’.
Komunitas SAKI(Sanggar Anak Kampung Indonesia) mencoba menyingkap keseharian hidup mereka di pinggiran Kali Code Kampung Ledok Tukangan, yang terhimpit melesatnya pertumbuhan hotel dan wisata Kota Jogjakarta. SAKI bereksperimen dengan gerobak berpindah yang isinya produk tidak biasa di benda seperti mug, tas, topi, kaos, dan lainnya. Mereka membuatnya dengan menyuratkan pesan tertentu di dalamnya. Gerobak sederhana, estetik dan multifungsi ini juga memuat sejarah kampung dalam karya berbentuk catatan, buku, gambar dan audiovisual. SAKI sedang berupaya mendialogkan kecemasan reflektif mereka dalam peristiwa kreatif ‘Kampungku Uripku’.
Begitu pula dengan warga di Ledok Code, yang juga berada di tengah pertumbuhan ekonomi hotel dan implikasi pasarnya, mereka sering kali tidak dihiraukan oleh banyak pihak. Kelompok warga ini berusaha menyingkap keberadaan hidup mereka melalui cerita sebuah lampion yang dibuat dari bahan bekas dan digantung diantara sempitnya pemukiman. Mereka juga berusaha sedang menjualnya tapi juga tidak biasa, karena selain mereka memang rentan secara ekonomi, lampion ini juga menyimpan harapan dari kehidupan pinggir Kali Code yang luput dari orang-orang dan kadang dipandang ‘gelap’ pihak pemerintah dan pengusaha. Mereka membuat, memperlihatkan dan mempertukarkan cahaya melalui lampion Ledok Code.
Anak-anak muda di sekitar Prawirotaman, GPP 08 menggarap workshop fotografi dengan anak-anak di kampungnya. Mereka berkolaborasi menggambarkan kehidupan mereka diantara desakan hotel yang telah mengubah banyak ruang bermain mereka. Potret ini diambil bersama dan dipresentasikan ulang di tengah kampung mereka. Anak muda Prawirotaman 2 ini memiliki kecemasan kolektif dari pertumbuhan kota Jogjakarta dan kemudian mereproduksi citra kehidupan di kampungnya melalui karya fotografi. Mereka setidaknya ingin dilihat kembali apa yang sudah, apa yang sedang dialami dan apa yang akan mungkin terjadi nanti di kampung tengah Kota Jogjakarta.
Padepokan Kyai Suluh dari Klaten juga merefleksikan desa mereka di tengah penyusutan lahan pertanian, karena mulai dibangunnya proyek kawasan industri. Mereka mengembangkan budi daya jamur untuk digunakan dan dijual. Mereka pun membuat kebun organik sederhana yang disebar di 10 rumah, agar mengingatkan warga yang dulunya adalah petani. Selain itu ada juga tanaman dekorasi pernikahan yang nantinya bisa untuk disewakan. Tujuan mereka adalah menginspirasi kemandirian ekonomi melalui kehidupan bertani yang sedang terancam dampak industrialisasi. Mereka juga menggunakan kesenian dengan mempertujukkan cerita sejarah melalui ketoprak berjudul Adinda: Dlimas 1915, instalasi dan tarian ‘Dewi Sri’, serta pameran foto tentang perubahan kehidupan kawasan pertanian menjadi kawasan industri. Pengalaman mereka di desa telah dikumpulkan dan dihadirkan ulang bersama menjadi sebuah peristiwa kritik keseharian berjudul ‘Nglemah Nglumbung’.
Di Klaten, Komunitas Radio Lintas Merapi melihat perubahan paska bencana erupsi Gunung Merapi. Dulunya kawasan wisata Deles cukup dikenal, banyak dikunjugi dan berpengaruh pada perputaran ekonomi warga. Sekarang cenderung menggiurkan menjadi kawasan pertambangan pasir bagi sebagian pihak yang bisa mengakses. Mereka mengembangkan kemandirian ekonomi melalui workshop sablon untuk membuat souvenir bagi wisatawan merapi yang khas dari kawasan Deles. Kearifan kehidupan di kaki Gunung Merapi berusaha dipertahankan.
Anak muda tergabng dalam Komunitas Lare Mentes di Gantiwarno Klaten merefleksikan kehidupan anak muda yang dekat dengan konsumsi gaya hidup dan sikap individualistik dari dampak teknologi dan media massa maintstream. Mereka mencoba mendorong keberdayaan ekonomi dengan melatih ketrampilan mereka melalui workshop pembuatan souvenir dengan bahan-bahan bekas dan pembuatan gerabah. Selain itu mereka juga kerap berlatih dan menampilkan permainanan musik perkusi yang interaktif dengan penonton.
Ada juga komunitas di Kabupaten Bandung, Kelompok Tani Cipta Mandiri yang tidak lagi memiliki lahan pertanian, tapi masih dipersilahkan menggarap oleh pengusaha. Tetapi juga sering tertipu dan ditinggal oleh investor pertanian. Berbagai persoalannya malah mendorong ketidakmampuan (mandul) dan tidak produktif dalam mengolah lahan. Kelompok ini kemudian berkolaborasi dan belajar kemandirian pemberdayaan pertanian tanpa mengandalkan kucuran investor. Dicobalah eksperimentasi purwarupa ‘Pasar kecil’, sistem berlangganan sayur organik dengan membayar dimuka (prabayar).
Paguyuban Ajen Sunda Seja Raharja, Kampung Sekepicung, Desa Ciburial, Kabupaten Bandung juga merespon dampak terjadinya penyempitan lahan pertanian karena lahan yang dibeli investor dan pengembang. Banyak pemuda di sana dulunya berlatar belakang preman. Mereka diserap sebagai pekerja kasar di café dengan tambahan jatah miras. Kelompok preman ini kemudian berupaya berubah dengan membantu kehidupan sekitar, dan meningkatkan daya hidup kampung Sekecipung dari gerusan investor. Mereka bereksperimen melalu proses kolaborasi membuat purwarupa model pertanian terpadu untuk meningkatkan daya tawar masyarakat kampung Sekepicung terhadap para pemilik cafe.
Inovasi Sosial dan Kolaborasi Lintas Disiplin
Cerita pengalaman komunitas melantaskan kreatifitas dalam mengolah rasa cemas (angst) menjadi beragam karya kreatif ini patut kita cermati bersama. Ketika tujuan sosial atas ruang dan waktu dari kehidupan mereka di tengah persoalan keseharian dapat tersingkap (disclosure) melalui kreasi kolektif. Bagaimana sebenarnya metode menjernihkan rentang ruang masalah (problem space) menggapai bentang ruang pemecahan (solution space) agar perubahan sosial yang lebih baik bisa diwujudkan?
Inovasi dari kerja komunitas sepertinya mengisyaratkan sinergi dari beberapa hal. Kemungkinan (feasibility) saat komunitas mengurai kemungkinan penciptaan prototype, misalnya penemuan teknik atau pemanfaatan teknologi. Adanya sifat diingini, disukai atau potensi menarik (desirability) dari prototype yang diwujudkan komunitas di tengah warga juga menjadi penting. Dan keberlangsungan hidup (viability) agar protype hasil karya komunitas ini bisa berkelanjutan. Lantas bagaimana inovasi ini dapat bermanfaat mengubah khalayak luas (masyarakat)?
Kreatifitas sebagai alam dari imajinasi yang kadang hadir melalui intuisi ataupun dialektika proses empirik saat mencipta, perlu dilihat lebih rinci lagi penggunaanya sebagai metode untuk inovasi sosial. Begitu pula desain sebagai pondasi, rangka dan skema konseptual sebagai resolusi untuk mengetahui isu, pemecahan masalah dan alat untuk mencapai tujuan. Pengalaman 8 komunitas dalam melaksanakan advokasi kreatifnya ternyata tidaklah berjalan sendiri-sendiri. Kolaborasi antar lintas disiplin pengetahuan dan keahlian adalah prasyarat signifikan dalam menggapai tujuan dari sebuah penciptaan prototype yang berkekuatan. Kolaborasi lintas disiplin baik itu teknologi, media, aktifisme, seni, ekonomi dan lainnya akan turut memperbesar kemungkinan kualitas dan daya manfaat penciptaan kekaryaan (prototype) sebagi inovasi sosial.
Dialog penggalian bersama dari beragam disiplin pun penting menjadi refleksi dalam memahami apa yang sedang dilakukan komunitas. Imajinasi komunitas atas sebuah perubahan ruang hidupnya lebih mudah digapai dengan perluasan. Mengurai proses berpikir atas ide, pengalaman empirik dari kerja kreatif, desain konsep yang dilakukan selama proses penciptaan kreatif dan upaya presentasi ulang di tengah khalayak dalam pameran adalah menjadi lebih kuat saat kerja lintas disiplin terwujud. Dialog lintas pengetahuan dan pengalaman lebih bisa menjadi perluasan perjuangan demi memperbaiki ruang hidup bersama agar tidak semakin banal.
Oleh: Ferry Edwin Sirait