“Kampung kami begitu gelap dan kumuh. Kami ingin membuat kampung ini bercahaya, agar orang tahu bahwa kami ada.”Pak Miskam, warga Kampung Ledok Code, di Bantaran Kali Code.
Kini dengan sekitar 40 lampion, Kampung Ledok Code tidak lagi menjadi penonton bagi kemewahan lampu-lampu hotel yang makin marak di Kota Jogjakarta, tetapi menjadi kampung yang bermandikan cahaya. Ide membuat lampion dari benda-benda bekas merupakan sebuah kreativitas untuk merespon kerentanan hidup di kawasan Bantaran Kali. Dikatakan kreatif karena warga Ledok Code telah meletakkan ide baru ke dalam realitasnya. Mereka mencoba memahami persoalannya dengan cara pandang baru yang sarat muatan solusi. Dalam kerangka berpikir inilah program CreativeNet dijalankan, yaitu dengan asumsi bahwa setiap komunitas memiliki kapasitas merespon persoalannya dengan ide-ide kreatif. Adapun entitas komunitas yang dimaksud oleh CreativeNet bukanlah komunitas berbasis hobby, internet, tetapi komunitas dengan basis wilayah yang jelas, yaitu komunitas kampung.
Program CreativeNet diawali dengan proses penelitian ke sekitar 30 komunitas di Jogjakarta, dan 8 komunitas di Klaten. Dengan metode wawancara mendalam (depth interview) akhirnya dirintis sebuah jaringan kreatif berbasis komunitas. Di Jogjakarta yaitu Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) dari Kampung Ledok Tukangan, Komunitas Cemara di Ledok Code, dan Gerilya Pemuda Prawirotaman 08 di Jl. Prawirotaman II. Di Klaten, ada tiga komunitas yaitu Radio Komunitas Lintas Merapi di Deles, Sanggar Lare Mentes di Gantiwarno, dan Padepokan Kyai Suluh di Dlimas. Seluruh komunitas ini menjadi cikal bakal CreativeNEt yang diharapkan jejaringnya berkembang dengan komunitas lain.
Pada tahap awal setiap komunitas memetakan persoalan yang terjadi di kampungnya, dan membangun ide kreatif untuk meresponnya. Dalam konteks ini, kreativitas dibangun dengan memetakan kembali potensi yang dimiliki oleh warga dan lingkungannya. Sehingga ide kreatif tidak muncul dari ruang kosong, tapi mengaitkan unsur-unsur persoalan serta menjadikannya sebagai pendekatan kreatif yang holistik. Proses perumusan ide ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu workshop untuk memperoleh benang merah dari persoalan yang dihadapi,. Adapun kesimpulan dari workshop tersebut ditemukan esensi persoalan yang sama yaitu terdesaknya ruang hidup, baik secara fisik, kebudayaan, dan ekonomi. Pasca workshop lalu setiap komunitas merumuskan ide kreatifnya yang kemudian dipresentasikan diantara komunitas. Ide kreatif yang disampaikan berbasis pada persoalan yang dihadapi oleh masing-masing komunitas, lalu bagaimana komunitas memetakan potensi kreatif yang ada pada warganya serta memadukan seluruh potensi itu menjadi sebuah prototype. Dalam kerangka #CreativeNet, aspek inovasi dalam sebuah prototype bukanlah mencari kecanggihan produk yang seringkali tidak bisa diterapkan. Inovasi yang dimaksud merupakan penguatan potensi yang sudah ada sehingga tetap ada keberlanjutannya. Pada titik ini, inovasi diterapkan berlandaskan pada pendekatan emik dimana sudut pandang bertumpu dari komunitas sendiri. Hal ini berbeda dengan pendekatan etik dimana sudut pandang terhadap fakta sosial berasal dari orang luar.
Ide Kreatif Komunitas
Komunitas SAKI dari Ledok Tukangan berangkat dari persoalan pendidikan dan penguatan kampung. Idenya adalah membuat perpustakaan mobile dengan menggunakan gerobak. Adapun isi dari perpustakaan itu adalah arsip mengenai sejarah kampung dalam bentuk tulisan, foto dan audio visual. Lalu ada satu gerobak lagi sebagai outlet menjual karya-karya anak muda Kampung Ledok Tukangan. Ide kreatif yang diajukan oleh SAKI diberi nama “Kampungku Uripku.” “Selama ini kami sudah membuat kaos, mug, tas, dan berbagai macam produk, tetapi terkendala di pemasaran. Meski berada di tengah kota tidak berarti akses pemasaran lebih mudah. Dengan potensi anak muda yang ada di sini, sebenarnya mereka bisa mandiri sehingga kami ingin membuat outlet dalam bentuk gerobak yang unik agar seluruh produk bisa dijual dimana saja. “ ujar Anang, pimpinan SAKI.
Berbeda dengan Komunitas SAKI, maka komunitas GPP08 di Prawirotaman II akan menggarap sebuah workshop fotografi untuk usia anak-anak hingga remaja. Lalu berdasarkan workshop tersebut, mereka akan memotret kembali ruang hidupnya yang kini semakin terdesak oleh pembangunan hotel. Ide mereka ini diberi nama “Catatan Visual GPP 08.” Komunitas Cemara – Ledok Code sadar akan pentingnya penguatan ekonomi warga, sehingga mereka akan merintis sebuah produk kerajinan berdasarkan bahan-bahan lokal serta memamerkan dan memajang karyanya di rumah warga hingga pos ronda. Proyek mereka disebut “Kampung Cahaya.” Berdasarkan rumusan ide-ide ini maka dapat dirumuskan bahwa kaitannya dengan ruang hidup meliputi persoalan 1) kemandirian secara ekonomi 2) Penguatan identitas dan solidaritas kampung melalui pengarsipan pengetahuan kampung 3) Penggunaan ruang untuk ekspresi warga.
Untuk di wilayah Klaten, maka rumusan ide dari Radio Komunitas Lintas Merapi hendak memperkuat ekonomi kreatif warga dengan memanfaatkan potensi wisata yang ada di kawasan Deles. Mereka lalu menggarap sebuah workshop sablon dimana nanti hasil-hasil sablonan kaos bisa menjadi suvenir bagi para wisatawan yang datang ke kawasan Merapi. Padepokan Kyai Suluh, Dlimas, berangkat dari persoalan industrialisasi yang menyebabkan pengalihan lahan sawah menjadi kawasan industri. Hal ini mengakibatkan peralihan profesi dari petani pemilih tanah menjadi buruh pabrik atau merantau. Dengan perubahan masyarakat agraris ke industri maka bentuk-bentuk ekspresi budaya pun semakin luntur yang terlihat dari terjadinya degradasi seni tradisi yang tidak lagi diminati oleh anak muda. Dengan tema “Nglemah Nglumbung” maka Padepokan Kyai Suluh merintis sebuah kemandirian ekonomi berbasiskan pertanian dengan mengembangkan bibit jamur, kebun organik yang diletakkan di sekitar 12 rumah, pemeliharaan tanaman untuk dekorasi manten. Sementara di jalur kesenian, maka diciptakan karya pementasan kethoprak berjudul “Adinda: Dlimas 1915,” Instalasi-Tari bertajuk “Dewi Sri,” lalu pameran foto-foto yang menggambarkan tergerusnya lahan sawah oleh industri di daerah Dlimas. Sanggar Lare Mentes di Gantiwarno berangkat dari persoalan keterampilan untuk kemandirian ekonomi kreatif dengan menggelar workshop pembuatan suvenir dari bahan-bahan bekas.
Berdasarkan rumusan ide dari keenam komunitas ini, maka bisa disimpulkan bahwa mereka memilih kemandirian dalam bidang ekonomi dan ekspresi budaya untuk memperkuat warganya. Melalui semua ini diharapkan ada penguatan daya tawar komunitas untuk berpartisipasi penuh dalam proses perancangan dan kontrol terhadap kebijakan yang menyangkut hajat hidup warga kampung.
Dalam implementasi pengembangan prototype, masing-masing komunitas secara organik melakukan “design thinking,” dimana antara ide, desain, teknis, dan bahan dipikirkan secara bersama. Begitu banyak penemuan-penemuan yang terjadi saat melakukan proses pembuatan prototype. Sebagai contoh, Padepokan Kyai Suluh menemukan bentuk bingkai yang spesifik untuk menggelar foto-fotonya. Dengan memanfaatkan bahan bekas, menaburkan gabah diantara foto, maka pameran foto ini menjadi sebuah presentasi yang unik. Komunitas Ledok Code yang membuat lampion, melakukan uji coba berbagai bahan untuk memperoleh sebuah lampion yang menarik dari sisi desain, tetap mempunyai unsur lokalitas, dengan bahan yang cukup kuat di kala panas dan hujan. Komunitas SAKI dari Ledok Tukangan memilih bentuk Gupon (rumah burung merpati) untuk desain signage dengan alasan aktivitas melepas burung merpati merupakan hiburan utama yang masih lekat pada warganya.
Begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari seluruh proses kreatif komunitas. Beberapa hal yang bisa dicatat bahwa praktik kreatif cukup efektif untuk memperkuat kepercayaan diri warga daam menyuarakan persoalannya, terutama untuk mereka yang termarjinalkan dalam struktur sosial sebuah masyarakat. Kepercayaan diri ini merupakan awal untuk melangkah ke fase partisipasi untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Oleh karena pendekatan kreatif yang dilakukan berbasis pada budaya yang sudah ada, maka identitas warga semakin kuat dan memposisikan kembali warga sebagai kesatuan entitas kampung.
(Ade Tanesia)