Hujan deras tak henti di tepi Sungai Code. Aliran sungai mengalir deras, tetapi tidak mengamuk seperti beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan banjir. Ruang sederhana di Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI), menjadi tempat pertemuan tiga komunitas yang menjadi cikal bakal “CreativeNet” wilayah Jogjakarta. Mereka adalah Komunitas Gerilya Pemuda Prawirotaman RW 08, Komunitas Cemara dari Ledok Code, dan SAKI sebagai tuan rumah di Ledok Tukangan. Dengan segala kesederhanaan, kami saling berbagi tentang pengalaman setiap komunitas dalam mencapai mimpinya akan sebuah kehidupan yang lebih baik di sebuah kampungnya.
Pertemuan ini merupakan rangkaian pengembangan jaringan kreatif berbasis komunitas di wilayah Jogjakarta. Diawali dengan berbagi antarkomunitas, sekitar 20 warga berkumpul di SAKI. Anang dari SAKI membuka pertemuan ini dan menceritakan sekilas perjalanan SAKI di Ledok Tukangan. “SAKI sebenarnya bermula dari keresahan melihat anak-anak muda kampung yang tidak bekerja dan tenggelam dalam praktik minuman keras. Anang, anak muda yang berasal dari kampung setempat resah melihat kondisi ini. Ia pun mengadakan berbagai kegiatan positif agar anak-anak muda memiliki kesibukan yang positif. Kegiatan kreatif tersebut akhirnya berkembang sampai akhirnya berdiri sebuah sanggar sederhana yang disebutnya SAKI. “Saya menerima siapapun untuk bekerja bersama SAKI,” ungkap Anang.
Inilah kuncinya sehingga SAKI dengan mudahnya dapat memobilisir sumber daya manusia di luarnya untuk mengajarkan keterampilan bagi pemuda kampung. Tidak heran jika mereka kini sudah mampu memroduksi kaos, sablon mug, tas-tas kain. Namun persoalannya mereka kesulitan dalam pemasaran sehingga semangat kadang menurun. Menurut Anang, persoalan terbesar di kampungnya adalah kemandirian ekonomi, pendidikan anak, lingkungan seperti banjir dan sampah. Jika ada inovasi kreatif untuk pengolahan sampah, maka hal ini bisa memecahkan persoalan bersama masyarakat. Tentunya sampah juga memiliki efek langsung akibat rentannya daerahnya terkena banjir.
[carousel coin_nav=”standard” direction_nav=”standard”]
[carousel_item]
[/carousel_item]
[carousel_item]
[/carousel_item]
[carousel_item]
[/carousel_item]
[carousel_item]
[/carousel_item]
[carousel_item]
[/carousel_item]
[/carousel]
Kampung Ledok Code, yang terletak di bawah Masjid Syuhada sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Kampung Ledok Tukangan. Sebagai kampung di pinggir Kali Code, maka Ledok Code juga rentan masalah banjir. Namun bagi warganya sendiri yang lebih krusial adalah status tanah yang mereka tempati bukanlah hak milik, sehingga suatu saat pemerintah memerlukannya maka dengan ikhlas warga harus pergi dari pemukiman tersebut. Ledok Code merupakan perkampungan yang baru berkembang sejak tahun 1980-an sehingga karakter warganya pun agak berbeda dengan warga Ledok Tukangan. Bagi warganya, kampungnya merupakan tempat tinggal sementara sebagai jangkar untuk mencari nafkah di kota besar Jogjakarta.
Pak Muskam sebagai warga kampung yang sangat peduli dengan kampungnya mengatakan bahwa warganya sangat sulit diajak terlibat dalam berbagai kegiatan. “Sebelumnya kawasan ini sangat tidak kondusif sebagai tempat tinggal, terutama untuk anak-anak. Segala profesi ada di kampung ini, dan juga banyak praktik minuman keras, “ ungkapnya. Oleh karena itu ketika sejumlah mahasiswa dari jurusan Hubungan Internasional UGM melakukan praktek pendampingan belajar untuk anak-anak, Pak Muskam bersedia memberikan tempatnya untuk ruang bermain dan belajar. Sudah lebih kurang 4 tahun kegiatan ini berlangsung yang dimotori oleh Komunitas Cemara, nama dari kelompok mahasiswa HI UGM ini. Namun beberapa warga kampung tetap ingin wilayahnya bisa ditata lebih baik agar pemerintah pun enggan untuk menggusur mereka, juga sebagai bagian dari kota, maka Kali Code perlu dipercantik dan menjadi lingkungan yang sehat bagi warganya.
Sangat berbeda dengan kedua komunitas di pinggir Kali Code, persoalan yang dihadapi oleh warga Prawirotaman adalah masalah dampak pariwisata. Mulai dari kesenjangan ekonomi, polusi kebisingan kendaraan, hingga tak ada lagi ruang publik bersama warga. Tidak heran jika sekelompok anak muda yang menamakan dirinya Gerilya Pemuda Prawirotaman RW 08 menggerakkan sebuah acara bernama Car Free Night. Dimana warga menutup jalannya untuk kegiatan seni bagi warga kampung maupun siapapun yang ingin terlibat dalam acara tersebut. Persoalan lainnya adalah semakin sempitnya ruang ekspresi bagi warga di kawasan Prawirotaman. Agung, penggerak GPP 08 bercerita bahwa dirinya pernah mengadakan kegiatan membatik bersama di kalangan anak-anak dengan memanfaatkan jalan gang. Saat itu cukup besar minat warga, tetapi karena cuaca hujan akhirnya berhenti. Bagi para pemuda yang peduli terhadap kampungnya, maka persoalan ruang publik bersama ini menjadi penting. Mereka merindukan sebuah kampung yang asri, dimana hubungan sosial antarwarga masih rekat. Mimpi inilah yang hendak dicapai oleh para pemuda di tengah kota yang semakin mengalienasi warganya.
Setelah menyampaikan persoalan dan kegiatan masing-masing komunitas, maka diskusi lebih mengarah pada kebutuhan berjejaring antarkomunitas. Ternyata ada keinginan kuat untuk saling berbagi dan membentuk jaringan kreatif antarkampung. Dimana sumber daya yang ada di suatu kampung bisa dibagikan ke kampung lainnya. Sebagai contoh, keahlian sablon yang dimiliki warga Ledok Tukangan bisa ditransformasi pada anak muda di Ledok Code. Begitu pula potensi musik anak muda yang ada di Ledok Tukangan bisa terlibat dalam acara Car Free Night yang digelar oleh GPP 08.
Titik temu dalam kegiatan bersama ini merupakan cikal bakal dari penguatan antarkampung yang kelak akan membentuk wajah kota. *** (ade tanesia)