Berikan aku sepuluh pemuda
Niscaya akan kuguncangkan dunia
(Soekarno)
Malam itu, anak-anak muda yang tergabung dalam Padepokan Kyai Suluh sedang berkumpul. Mereka menelpon rekan sekampungnya yang sedang berlayar di perairan Sulawesi Selatan. Canda tawa yang disertai rasa rindu mewarnai pembicaraan jarak jauh itu. Hengkang dari desa untuk mencari nafkah merupakan situasi biasa yang terjadi di Desa Dlimas. Beberapa anak muda juga telah menjadi commuter, yang bekerja di luar kota sekitar Klaten seperti di Yogyakarta, Boyolali, Salatiga, Solo. Gejala ini terjadi hampir merata di desa-desa Indonesia yang mengindikasikan bahwa desa bukan lagi tempat yang cukup menjanjikan untuk bertahan hidup.
Padahal menurut data statistik kependudukan tahun 2010, tercatat orang muda mencapai 34,47% atau hampir 82 juta dari total 237 juta penduduk Indonesia (BPS, 2010). Mereka dalam kategori ini adalah yang berada pada rentang usia antara 15 -34 tahun, dan diperhitungkan sebagai angkatan kerja. Dari total jumlah tersebut, hampir separuhnya berada di wilayah perdesaan. Bila melihat angka demografis tersebut, maka keberadaan orang muda di desa sebenarnya memiliki makna penting sebagai motor penggerak. Demikian pula yang terjadi di daerah perkotaan, meski dekat dengan jantung kota namun tidak semua anak muda terserap sebagai tenaga kerja. Akibatnya banyak pengangguran dan tanpa kegiatan yang terarah maka mereka pun rentan terjerat dalam praktik yang mengarah pada kebiasaan buruk. Potensi semangatnya pun dengan mudah dapat digunakan oleh berbagai kepentingan kekuasaan yang bermain di suatu wilayah.
Berdasarkan pengalaman implementasi program CreativeNet maka di setiap komunitas, anak muda menjadi ujung tombak dalam melaksanakan seluruh ide kreatif. Mereka sangat bersemangat untuk berkarya, bekerja bersama. Artinya
anak muda membutuhkan ruang ekspresi yang egaliter dimana mimpi dan gagasan mereka diperhitungkan dan digunakan dalam proses pembuatan karya. Dalam lingkup kampung, anak muda seringkali dianggap kelompok yang tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini kerap membuat anak muda apatis dan tidak memiliki kepedulian terhadap persoalan yang terjadi di lingkungannya. Orientasi pendidikan yang hanya melahirkan “robot-robot” pendukung kepentingan modal telah mematikan daya kreatif yang ada dalam diri anak muda sehingga kadang tidak ada keberanian untuk bermimpi.
Ruang ekspresi seperti di SAKI, Padepokan Kyai Suluh, Sanggar Lare Mentes, GPP08, Komunitas Cemara, Radio Komunitas Lintas Merapi menjadi penting untuk menyalakan kembali daya imajinasi, kreativitas yang sebenarnya inheren dalam jiwa anak muda. Patronase tetap dibutuhkan untuk menanamkan nilai, kepercayaan diri, mimpi, dan harapan. Seringkali terjadi di beberapa tempat, saat patron pergi maka daya penggerak itu pun lenyap. Namun selama model patronase berlandaskan pada kebersamaan serta memberi kesempatan tampil bagi anak muda, maka itu adalah benih yang ditabur untuk regenerasi di kemudian hari. Satu hal yang menarik dari kerja kreatif adalah komunitas disibukkan dengan kerja penciptaan yang di dalamnya terjadi proses penyelarasan antara pikiran dan hati. Kesibukan kreatif ini merupakan jalan untuk berpikir mencari kemungkinan baru dalam melihat persoalan yang seakan sudah tidak bisa diubah. Di Flores misalnya, dengan diberikan pelatihan memproduksi video, anak muda didorong untuk mengenali kembali desanya yang tanpa disadari membentuk kepedulian dalam dirinya. Keterampilan menggunakan video akhirnya diakui oleh para generasi tua, sehingga mereka diminta untuk masuk dalam ruang-ruang adat dan pemerintahan dengan alasan dokumentasi. Tetapi dengan memasuki ruang tersebut, lambat laun mereka memahami proses pengambilan keputusan, dan akhirnya dapat berkontribusi dalam pertemuan-pertemuan yang sebelumnya tak pernah diikuti.
Dengan berani, bisa disimpulkan bahwa saat anak muda diberikan ruang ekspresi maka “lumbung-lumbung” yang tengah sekarat mampu dihidupkan kembali. Namun saat ini, tugas terberat adalah memberikan ruang bagi mereka untuk menjadi motor penggerak perubahan di kampungnya sendiri. Dan ke-8 komunitas di Jogjakarta, Klaten, dan Bandung telah merintisnya melalui jalan paling sulit yaitu jalan perdamaian di jalur kebudayaan.
Oleh: Ade Tanesia