Di awal April 1986, sebuah protes atas keputusan pemerintah yang akan melakukan penggusuran pemukiman di sepanjang kali Code bergaung mengejutkan seantero negeri. Romo Mangun yang saat itu memimpin protes didukung oleh para cendekiawan, budayawan, seniman, mahasiswa dan aktivis LSM menyangkal alasan para pejabat pemerintah dan teknokrat yang berpandangan bahwa penggusuran adalah satu-satunya cara untuk menyelematkan penduduk dari bahaya banjir dan kebutuhan memperindah kota dengan taman-taman rekreasi (Khudori, 2002).
Pemukiman di perkotaan, terutama yang dianggap sebagai kantong kemiskinan, sering kali menjadi sasaran kebijakan agraria dan tata ruang sepihak. Atas nama pembangunan, pembicaraan tentang dunia manusia yang memiliki relasi kesatuan dengan alamnya jarang diperhitungkan. Ukuran keberhasilan dan modernitas kota seolah-olah hanya sah bila lebih banyak lagi pembangunan hotel, mall dan berbagai resto penarik wisatawan, digerakkan.
Pendekatan yang tak jauh berbeda juga digunakan dalam pengembangan kawasan perdesaan. Daya tarik investasi seakan-akan menjadi satu-satunya faktor penting yang harus diperhitungkan dalam rencana tata ruang wilayah. Tidak peduli ada daya produksi yang tergerus karena industrialisasi yang dikembangkan mengubah peruntukan lahan pertanian. Pun, tak peduli pada kenyataan bahwa kegaduhan industri tersebut tidak menyisakan apapun bagi kehidupan di desa, kecuali konflik laten antar warga yang sebagian berubah menjadi makelar tanah. Situasi itu yang kita temukan di desa Dlimas, kecamatan Ceper, Klaten. Sebuah potret majemuk dari model pengembangan tata ruang perdesaan yang menyusun rencana tanpa menghitung keberadaan warga yang mendiami wilayah tersebut sebagai subyek dan kepentingan utama dari agenda pembangunan yang ada.
Lembar-lembar perencanaan tata ruang yang hadir sekonyong-konyong ke hadapan warga membuat sekat dengan pengetahuan, tuturan pengalaman sehari-hari dan pengalaman batin warga atas tanah dan lahan yang mereka tanami, air sungai dan udara yang mereka hirup. Wajar bila kemudian kita masih bertanya “perencanaan ini untuk kepentingan siapa?”. Pertanyaan yang sesungguhnya pernah begitu kuat diteriakkan oleh masyarakat sipil ketika Orde Baru menerapkan model pembangunan yang bias kepentingan elit dan si “kaya”. Dan setelah nyaris dua dekade paska Orde Baru ditumbangkan, kita semestinya harus memeriksa kembali apa kontribusi dari ruang kebebasan memperoleh informasi dan capaian demokrasi hari ini terhadap keberlangsungan ruang hidup warga di kampung dan desa? Apakah transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan memberi makna bagi kesempatan warga untuk mempertahankan lumbung hidupnya? Lalu seberapa besar jaminan perlindungan yang dapat diperoleh warga setelah partisipasi politik mereka salurkan? Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah upaya untuk menelusuri sejauh mana proses pembuatan kebijakan dan bagaimana masyarakat sipil dilibatkan di dalam urusan yang dapat mengubah peruntukan ruang hidup warga.
Sejarah demokrasi dan upaya pemenuhan kesejahteraan di negri ini mencatat dari waktu ke waktu bahwa pembelaan terhadap lumbung hidup warga yang datang dari masyarakat sipil adalah reaksi kemuakan atas persekongkolan antara negara dan kekuatan ekonomi yang dimiliki para pemodal. Disanalah kita memperoleh petunjuk bahwa nalar untuk mencari keadilan selalu bekerja di setiap ketimpangan pembangunan. Belajar dari tantangan gerakan masyarakat sipil yang dipimpin oleh Romo Mangun saat melakukan pembelaan terhadap persoalan kampung perkotaan di Code, pengalaman kolektif kelompok warga sering tidak mudah dipahami oleh orang dari luar. Persoalan klasik, namun membuktikan bahwa tuturan pengalaman batin warga tidak mudah untuk diuraikan. Bahkan tidak mudah menemukan konsensus di dalam keanggotaan warga itu sendiri. Artikulasi kepentingan tidak pernah tunggal, struktur kekuasaan selalu mewarnai setiap komunitas warga, dimanapun. Kampung Code di Yogyakarta, Desa Dlimas di Klaten, dan desa Ciburial di kabupaten Bandung hanyalah potret kecil untuk menggambarkan rumitnya kontestasi antara modal sosial dan kultural yang dimiliki oleh komunitas warga dengan kepentingan ekonomi yang ada di belakangnya. Memahami tuturan warga kampung dan desa adalah seumpama menguak tabir sebelum kita berpihak memberi dukungan. Karena pada akhirnya yang kita bela bukan spasial semata, tapi manusia yang mendiaminya, mereka yang hidup dalam kesatuan dengan ruangnya.